Sabtu, 08 Desember 2007

BELAJAR BAHASA INGGRIS



Mengapa pengajaran bahasa kita gagal?
Setelah merasa cukup menimba ilmu bagaimana sarjana Amerika berkarya ilmiah, mengelola universitas, menyusun sistem Satuan Kredit Semester, 20 tahun lamanya, Prof. Soenjono Dardjowidjojo, Ph.D., guru besar linguistik bahasa Inggris ini pun kembali ke Tanah Air. Tamatan Georgetown University yang masih berkarya di Universitas Atma Jaya, Jakarta, ini berbincang perihal dunia bahasa, bagaimana anak memperoleh bahasa, dan tentang pengajaran bahasa di Indonesia.

Dengan cucunya Echa yang menjadi objek penelitiannya selama lima tahun.
Banyak orang langsung mencibirkan bibir ketika mendengar seseorang masuk jurusan bahasa, apalagi belajar tentang bahasa. Buat Soenjono Dardjowidjojo, yang pernah menjabat sebagai Ketua Jurusan Department of Indo-Pacific Languages di Universitas Hawaii, dunia bahasa justru menakjubkan sekaligus menantang.
"Hanya manusia yang ditakdirkan untuk bisa berbahasa. Tuhan khusus menciptakan mekanisme agar manusia punya kemampuan untuk berbahasa," ungkapnya. "Hal ini jelas terlihat pada struktur otak manusia, yang berbeda dengan otak binatang paling cerdas seperti simpanse sekalipun."
Struktur otak manusia terbagi atas beberapa daerah. Ada yang dinamakan daerah Wernicke, daerah Broca, motor cortex, yang bertugas mengontrol alat-alat penyuaraan manusia sehingga memungkinkan manusia berbicara.
Dari segi fisiologi, konstruksi mulut manusia tidak sama dengan binatang. Dari segi biologi dan neurologi, binatang sudah bisa berbuat banyak begitu dilahirkan, karena otaknya sudah 70% dari otak dewasa. Sementara otak bayi manusia saat lahir hanya 20 - 25% dari otak manusia dewasa. Itu sebabnya manusia perlu waktu lama untuk mengembangkan otaknya.

Proses mental yang rumit
Seorang manusia yang ingin memahami suatu ujaran, harus melalui proses mental yang sangat panjang. Pertama, harus bisa mendengar dan membedakan bunyi satu dengan yang lain. Kemudian, harus bisa mengurutkan satu bunyi dengan bunyi yang lain, semisal, mampu membedakan bunyi kata "papi" yang terdiri atas "pa" dan "pi". Prosesnya tidak mudah sebab terjadi secara mental di dalam otak. Proses berikutnya, sesudah mendengar dan menyerap apa yang didengar, ia harus mencari maknanya.
Nah, bagaimana manusia memproses suatu rentetan bunyi sehingga menjadi suatu makna? Itu juga perlu proses mental. Ujaran yang berbunyi Johan mencintai Mary berbeda dengan ujaran Mary mencintai Johan. Si pendengar harus mengerti sintaksis kalimat atau urutan antarkata yang membentuk kalimat itu, sehingga pesan yang disampaikan si pembicara dapat diterima sebagaimana diinginkan si pembicara.
"Untuk dapat mengajar bahasa, gurunya harus mampu berbahasa dengan baik dulu."
Setelah memahami tahapan itu, manusia masih harus memikirkan mau bertindak apa lagi selanjutnya? Itu butuh satu proses lagi.
"Umumnya, kita tidak menyadari betapa rumit proses yang harus dijalani manusia dalam berbahasa, karena bahasa itu kita gunakan setiap hari. Sudah ada begitu saja. Tak heranlah bila dikatakan, belajar bahasa itu sama dengan belajar tentang manusia. Rumit, tetapi punya kedudukan penting dalam kehidupan manusia. Ajaibnya, mengapa anak-anak bisa 'dengan mudah' menguasai bahasa yang prosesnya rumit itu?" jelas mantan Direktur Lembaga Bahasa dan Direktur Pascasarjana Universitas Atma Jaya, yang kini masih menekuni profesinya sebagai Wakil Indonesia di Permanent International Committee of Linguists, dan Ketua Masyarakat Linguistik Indonesia ini.
"Noam Chomsky, ahli bahasa kenamaan dari Amerika, mengatakan seorang anak tidak dilahirkan bak piring kosong, atau tabularasa. Begitu dilahirkan ia sudah dilengkapi dengan perangkat bahasa yang dinamakan Language Acquisition Device (LAD)," ujar Soenjono, kelahiran Pekalongan pada 1938.
Perangkat LAD ini bersifat universal, dibawa anak sejak lahir, sehingga dapat dikatakan ia sudah dibekali pengetahuan tertentu tentang bahasa. Yang dibutuhkan untuk mengembangkan kemampuan berbahasanya hanyalah masukan guna mengaktifkan tombol-tombol universal itu. Sesungguhnya, perangkat bahasa inilah yang memungkinkan anak bisa memperoleh bahasa apa pun.
Andai seorang anak Indonesia dilahirkan di New York, selama satu-dua tahun memakai bahasa Inggris, bergaul dengan anak-anak yang berbahasa Inggris, ia tidak hanya bisa berbahasa Inggris, tetapi bahasa Inggrisnya akan serupa dengan bunyi bahasa Inggris penduduk New York.
Boleh dibilang, yang membedakan kemampuan anak satu dengan yang lain dalam berbahasa terletak pada masukan yang diberikan padanya. Karena masukan yang diterima adalah bahasa Inggris Amerika, maka yang dikuasai si anak adalah bahasa Inggris Amerika. Bila ia dilahirkan di Cina, yang akan muncul adalah bahasa Cina yang persis seperti orang Cina asli.

Manfaatkan cucu
Para ahli bahasa Barat menyatakan, pemerolehan bunyi dalam bahasa yang dilakukan anak tidak acak, tetapi mengikuti aturan atau urutan universal tertentu. Anak pasti mulai dengan bunyi bilabial /p/ atau /m/ dan kemudian bunyi vokal /a/ sehingga terbentuklah suku kata /pa/ atau /ma/. Demikian pula dalam hal penguasaan sintaksis. Anak mengikuti semacam aturan, mana bagian yang lebih dulu harus dikuasai, mana yang belakangan.
Konsep universal yang didengungkan para ahli Barat ini mengusik kekritisan Soenjono untuk dibuktikan. Paling tidak, sejauh mana konsep universal itu berlaku bagi anak Indonesia. Maka cucu pertamanya, Echa, yang lahir 24 Juni 1994, selama lima tahun berturut-turut menjadi "kelinci percobaan" penelitiannya.
Begitu cucu pertamanya itu nongol di dunia, dua minggu sekali Soenjono sibuk merekam setiap gerakan, pergerakan mulut, lidah, dan matanya sampai berusia lima tahun. Ketika Echa mulai mengeluarkan bunyi-bunyi, Soenjono pun sibuk merekam bunyinya secara teratur. Setiap tahun, hasil pengamatannya dianalisis dan disajikan dalam seminar bahasa yang diselenggarakan Universitas Atma Jaya, Jakarta. Lima tahun kemudian, hasil pengamatannya diramu dan dirangkum menjadi buku berjudul Echa, Kisah Pemerolehan Bahasa Anak Indonesia.
Kesimpulan yang didapat dari hasil penelitian lima tahun itu boleh dibilang spektakuler. Memang konsep universal yang didengungkan para ahli bahasa Barat berlaku juga pada anak Indonesia, hanya gradasinya berbeda. Untuk soal pemerolehan bunyi-bunyi bahasa, Soenjono percaya anak Indonesia, dan anak di belahan Bumi mana pun, mengikuti aturan universal yang dinyatakan oleh Jacobson (1967).
Tidak ada, misalnya, anak di dunia ini yang menguasai suara /k/ dan /g/ sebelum suara /p/ dan /b/. Juga tidak ada yang menguasai suara /e/ (seperti pada kata bebek) lebih dulu dari suara /a/. Yang dikuasai pertama-tama pasti suara yang dibentuk dengan dua bibir bertemu, bilabial. Masalahnya hanya apakah bunyi itu dikeluarkan lewat mulut atau hidung. Kalau dari mulut, yang keluar bunyi /p/ atau /b/. Kalau lewat hidung, yang terdengar bunyi /m/.
Untuk vokal ada pula aturan universalnya, bahwa anak di dunia ini pasti menguasai bahasa dengan menguasai tiga vokal dasar, /a, i, u/. Vokal /a/ selalu dikuasai terlebih dahulu.
Karena konsonan pertama yang dikuasai adalah bilabial, /p/ atau /m/, sedangkan vokalnya /a/, maka kata pertama yang sering terdengar adalah /ma/, /ma/, atau /pa/, /pa/. Karena umumnya anak di dunia ini melakukan pengulangan suku kata itu, terbentuklah kata papa atau mama, dan bukan kata paman, samam.
"Oleh orang dewasa dianggap bahwa papa merujuk pada ayah, sedangkan mama pada ibu. Padahal kalau berani melakukan eksperimen misalnya membiasakan anak kecil menganggap bahwa papa itu merujuk ke ibu, mama kepada ayah, menurut saya bisa terjadi pengertian yang terbalik."

Tidak ada komentar: